Kita terlahir dari kota yang berbeda. Tapi kerap kali membicarakan tema yang sama. Yaitu "CINTA"

Sabtu, 03 Agustus 2013

Cerpen kompas

Cerpen Ahmad Zaini
Kala itu hari menjelang sore. Di kamar sederhana berdinding papan berukuran 2 x 3 meter persegi Tarmizi duduk di dipan yang terbuat dari bambu. Ia terdiam merenungkan sesuatu yang hingga kini belum ada satu orang pun yang mengetahuinya. Tarmizi seperti terbebani masalah yang amat berat. Dia terkadang diam mematung di dipan tersebut hingga sejam atau dua jam. Ia tidak mempedulikan kondisi fisiknya yang tak karu-karuan. Rambut hitam lurus yang biasanya tersisir rapi dibiarkan seperti benang kusut. Wajah yang sebenarnya besinar dibiarkan redup. Gigi berseri laksana biji ketimun dibiarkan kering hingga menguning. Baju rapi dibiarkan kumal. Sarung biasanya kencang dibiarkan kedodoran. Tarmizi benar-benar seperti lupa jati dirinya.
Maryamah, istri Tarmizi bingung dengan sikap suaminya seperti orang lupa. Ia tak tahu bagaimana cara mengorek keterangan darinya. Sikapnya yang sukar ditebak dan terkadang menyalak jika mendengar pertanyaan tentang masalah yang dihadapinya. Ia hanya bisa membuka pintu berselimut kelambu yang menutupi ruang kamarnya dari luar hanya untuk sekadar menyuguhkan secangkir kopi atau sepiring ubi.
Hampir lima tahun berjalan, Tarmizi melakukan tirakat. Tirakat merupakan upaya manusia untuk hidup sederhana jauh dari kemewahan dunia dengan tujuan menyucikan diri. Ia ingin hidupnya jauh dari kemayaan dunia yang serba penuh tipu daya. Dia hanya ingin memfokuskan kehidupannya untuk kepentingan akhirat. Setiap hari ia hanya memakan ubi dengan minum secangkir kopi buatan sendiri. Ia juga menjaga jarak dengan kehidupan manusia lain agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang tergolong perbuatan fasad atau yang bisa merusak niatnya.
Dari ritual yang ia jalani beberapa tahun, tubuh dempalnya kini menjadi kurus. Matanya cekung, kulitnya kusut. Kumis dan cambangnya juga tak terurus. Panjang menjuntai hingga menutupi mulut serta bibirnya yang tebal.
“Pak, apa yang kau lamunkan?” tanya Maryamah.
“Tidak ada apa-apa. Aku tidak melamunkan sesuatu,” jawabnya ringan.
“Tapi sikapmu tidak seperti biasanya. Setiap hari kulihat bibirmu berzikir menyebut kebesaran dan kesucian Allah. Setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu kau duduk bersila mengagungkan dzat-Nya. Setelah itu kau selalu membaca Alquran dengan suara merdu. Akan tetapi, akhir-akhir ini kau hanya diam menundukkan kepala seperti itu. Apa yang menyebabkan kau seperti itu?”
“Tidak perlu kau tahu, Maryamah. Ini urusanku sebagai kepala rumah tangga.”
“Kau jangan egois seperti itu. Urusan rumah tangga selama ini sudah menjadi tanggung jawabku. Urusan nafkah dan urusan anak-anak sudah kuurusi sejak kau mengatakan kepadaku ingin uzlah atau menyepi sendiri di kamar mendekatkan diri kepada Allah. Saat kau menghadapi masalah seperti ini, kau dengan enteng menjawab pertanyaanku dengan jawaban ini urusan sebagai kepala rumah tangga. Heh, kamu ini aneh!” ucap Maryamah sambil meninggalkan kamar tempat suaminya menyendiri.
Suasana rumah sebentar hening. Angin siang berhembus pelan membelai dedaunan pohon serta tanaman ubi-ubian yang tumbuh di sekitar rumah Tarmizi. Tiba-tiba dari ruang depan terdengar suara orang mengerang kemudian menabrak pintu rumah.
“Brakkk!” terdengar suara keras benda yang menabrak pintu.
“Bu, suara apa itu? Coba lihat!” perintah Tarmizi dari dalam kamar.
Maryamah dengan tergopoh-gopoh lari dari ruang dapur melihat apa yang terjadi di ruang depan.
“Ya, Allah Husen, anakku! Tak bosan-bosannya setiap hari kau mabuk seperti ini. Kapan kamu sadar, Nak?”
“Haaah...! Sana menjauh dariku! Jangan kau sentuh kulit anakmu yang najis ini! Sana ke kamar menyepi, menyendiri dengan bapak! Jangan urusi anakmu,” kata Husen meronta sambil mendorong tubuhnya ibunya dengan mata menyala merah seperti serigala yang akan menerkam mangsanya. Maryamah terpental hingga terduduk di kursi panjang di ruang tamu.
“Husen! Apa yang kau lalukan?” Tarmizi keluar dan menanyai Husen.
“Hahahahahaha! Uweek! Orang suci keluar dari kamar! Jangan mendekat, Pak! Anakmu ini najis. Menyingkirlah!” teriak Husen sembari mengehempaskan tubuh ayahnya yang ringkih.
Tubuh Husen terhuyung-huyung karena pengaruh minuman keras. Ia setiap hari bermabuk-mabukan dengan menenggak arak yang disediakan oleh teman-temannya. Setiap bangun tidur sekitar pukul sembilan pagi, Husen selalu pergi meninggalkan rumah. Ketika sore menjelang senja, ia baru datang dalam kondisi mabuk seperti itu. Pemandangan yang sagat miris dari anak seorang ahli ibadah.
“Pak, apa yang harus kita lakukan?” tanya Maryamah kepada suaminya dengan derai air mata.
“Kita berdoa saja semoga Allah membuka pintu hati anak kita,” jawab Tarmizi.
“Sikap dan perilaku anak-anak kita yang brutal dan jauh dari norma agama ini tampak sejak kau memutuskan menyendiri hidup di kamar. Semenjak itu, anak-anak kita tak pernah mendapat perhatian dan nasihat dari kita. Terutama dari kamu sebagai seorang ayah.”
“Jadi, kau menyalahkan aku?” kata Tarmizi dengan suara lantang kepada Maryamah.
“Pelan-pelan! Jangan keras-keras, Pak! Nanti Husen mendengar,” pinta Maryamah.
“Biarkan dia mendengar agar dia sadar!”
“Itu bukan cara menyelesaikan masalah, Pak! Nanti yang ada malah menambah masalah,” sanggah Maryamah.
Kata-kata Maryamah yang menyudutkan Tarmizi menambah beban yang selama ini sudah membelenggu Tarmizi. Dua bulan yang lalu dia sudah terbebani oleh nasihat Kiai Zen, teman Tarmizi ketika mencari ilmu di pesantren Sarang. Ulama karismatik dari Pasuruan ini pernah datang kepadanya lalu menyampaikan beberapa pesan.
Ketika itu Kiai Zen datang ke rumah Tarmizi. Dia jauh-jauh datang dari Pasuruan karena mendengar kabar bahwa Tarmizi telah melakukan uzlah atau menyepi. Tarmizi telah meninggalkan keduaniawian termasuk meninggalkan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Dia tidak pernah lagi bekerja untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Setiap hari dia mengurung diri di kamar untuk melakukan dzikir, beribadah kepada Allah. Kiai Zen berkeyakinan bahwa apa yang telah dilakukan Tarmizi itu sesat. Tarmizi ingin menyucikan diri mendekatkan diri kepada Allah, namun di sisi yang lain dia telah menelantarkan istri dan anak-anaknya karena tidak pernah mencarikan nafkah dan membimbing mereka.
Karena sikap Tarmizi yang salah itulah, sampai-sampai anak pertamanya, Maimun, tewas dengan mengenaskan. Dia overdosis karena menenggak minuman oplosan. Dia ditemukan warga dalam kondisi mati di pinggir jalan.
“Ketahuilah, Kang bahwa yang kamu lakukan ini keliru. Allah memerintah kita agar kita mencari kebahagiaan akhirat, tetapi kita jangan melupakan kewajiban-kewajiban kita di dunia. Kewjiban kita apa? Karena kita mempunyai keluarga maka kewajiban kita adalah menafkahi dan membimbing mereka. Jika kewajiban kepada keluargamu itu kau abaikan, Ibadah yang kau lakukan selama bertahun-tahun ini akan sia-sia kelak di akhirat,” kata Kiai Zen saat menasihati Tarmizi.
“Kok, bisa? Saya setiap hari sudah beribadah. Mulai pagi hingga pagi lagi saya melulu beribadah kepadanya. Maka Allah dengan sifat Rahman RahimNya akan memasukkan saya ke surga,” bantah Tarmizi.
“Salah. Kau tidak akan bisa masuk surga. Anak-anakmu yang tidak karuan-karuan perilakunya itu akan menuntutmu. Mereka tidak akan rela masuk neraka sendiri tanpa bapaknya.”
“Mereka yang bermabuk-mabukan dengan menenggak minuman keras, dosanya tentu mereka sendiri yang menanggung. Kenapa saya dilibatkan?” sangkal Tarmizi.
“Sempit sekali pikiranmu. Dia berbuat fasiq atau berbuat dosa seperti itu karena kau tidak pernah memberi bimbingan atau pendidikan kepada mereka. Mereka kau biarkan terjerumus dalam kerusakan sedangkan kau sendiri malah dengan sikap egomu terus beribadah sendirian kepada Allah. Sia-sia, Kang, ibadahmu karena mereka akan menuntutmu masuk neraka. Dia akan menolak masuk neraka karena kesalahannya suka bermabuk-mabukan akibat sikap ego orang tua yang tidak pernah mendidiknya. Kau dan anak-anakmu yang menjadi bahan bakar api neraka.”
“Sudah-sudah, jangan  kau teruskan! Sampaikan saja keperluanmu jauh-jauh datang ke sini!”
“Keperluanku datang ke sini hanya menyadarkan saudaraku, Tarmizi. Kasihan istri dan anak-anakmu. Kalau begitu saya pamit dulu.”
“Kok, tergesa-gesa? Ini ubi dan kopinya dinikmati dulu!”
“Tidak usah. Aku terburu-buru karena santriku sudah menunggu di pesantrenku. Assalamualaikum!”
“Waalaikum salam!” jawab Tarmizi.
Setelah Kiai Zen berpamitan pulang, Tarmizi lantas mengemasi secangkir kopi dan sepiring ubi.
“Lho, Pak! Tadi ada tamu?” tanya Maryamah yang baru saja datang dari berkebun.
“Tidak ada.”
“Saya kira ada tamu tadi. Kok tumben sampean makan ubi dan minum kopi di ruang tamu.”
“Ingin mencari angin saja,” jawab Tarmizi membohongi istrinya.
Semenjak kunjungan Kiai Zen itulah, Tarmizi diliputi kebimbangan yang luar biasa. Ia sering melamun duduk sendiri. Dia merasa apa yang disampaikan temannya di pondok itu ada benarnya. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Anak pertamanya telah mati karena overdosis minuman keras. Anak keduanya, Husen, perilakunya sudah seperti binatang. Dia suka main wanita, mencuri, minum minuman keras dan lain-lain.
Gerah udara di kamar menambah sumpek pikiran Tarmizi. Dia semakin bimbang dalam menentukan pilihan hidupnya. Dia takut menghadapi siksa neraka akibat keteledorannya mengurusi dan membimbing anak-anaknya. Dia memutuskan ingin mengakhiri penderitaan batin yang selama ini membelenggunya. Dengan sebilah pisau dia mengiris urat nadi di tangan kirinya. Darah segar memuncrat hingga memerciki mukanya, sajadahnya, sarungnya, serta baju kokonya. Tubuh ringkih itu roboh tak bernyawa di kamar uzlahnya. (*)