Pengetahuan adalah kekuasaan : Modernisme |
![]() |
![]() |
![]() |
Written by narasumber# |
Monday, 23 May 2011 03:49 |
Selama ini
pengetahuan tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan kita
warisi paling-paling dalam bentuk semboyan yang dianggap berasal dari
filsafat ilmu Francis Bacon (1561-1626), yang berbunyi “Knowledge is
power”, pengetahuan ialah kekuasaan. Pengetahuan menampakkan diri dalam
kekuasaan. Atau lebih tepat, pengetahuan mewujudkan diri dalam
teknologi dan teknologi adalah sarana untuk mengendalikan, khususnya
untuk mengendalikan alam.Pada terang tanah era modern itu, ilmu
pengetahuan mencatat beberapa kemajuan dalam teknologi. Percetakan
membuat manusia dapat memperluas pengetahuan dan dengan demikian juga
kekuasaannya. Mesiu dapat membuat suatu bangsa memperluas jajahan atau
setidak-tidaknya mempertahankan kedaulatan. Perkapalan membuat manusia
mengarungi samudera.(Verhaak dan Imam.1991: 139). “Scientia et potentia
humana in idem coincidunt”. Ilmu pengetahuan dan kekuasaan bertumpang
tindih, karena hanya mereka yang mengetahui sebab-sebab sesuatu akan
menguasainya pula. (Steel, 1989: 69).
Ciri
ilmu pengetahuan modern yang berpegang pada supremasi data empiris ini
sebenarnya sudah dapat dirunut pada kerja ilmiah Aristoteles (384-322
SM). Sewaktu mengritik idealisme Plato, gurunya, Aristoteles sudah
mengatakan bahwa pengetahuan tercapai sebagai hasil kegiatan manusia
menganati kenayataan yang partikular, yang banyak dan berubah-ubah, yang
dalam bahasa kita sekarang kita sebut sebagai kenyataan empiris. Dari
yang partikular inilah kita mencapai yang universal karena rasio
manusia mampu melakukan abstraksi dengan menerapkan logika.
Ciri
ilmu pengetahuan modern yang kedua ialah aplikasinya dalam teknologi.
Karena proposisi ilmiah itu berkorespondensi dengan realitas, karena
pengetahuan yang benar itu “identik” dengan realitas, maka pengetahuan
itu dapat mengatur gerak-gerik (merekayasa) realitas, seperti
digarisbawahi oleh Francis Bacon dan dalam bentuknya paling mutakhir
seperti ditekankan oleh pragmatisme Amerika. Rasio Yunani, termasuk
fisika dan metafisika Aristoteles, adalah rasio dalam operasinya yang
sejati, yakni daya akal yang sesudah lepas landas dari pangkalan
empiris, mampu bermain-main di dunia abstraksi yang tidak terganggu oleh
“gravitasi” kenyataan empiris dan kepentingan sehari-hari (“unbearable lightness of being”
istilah novelis Milan Kundera). Ilmu pengetahuan Aristotelian yang
aristokratik inilah yang dikritik oleh Francis Bacon. Bacon
membumikannya lagi, kepada kepentingan manusia dan kesejahteraan
manusia, melalui penguasaan alam (dan juga penguasaan manusia-manusia
lain, katakanlah melalui planning, organizing, actuating, control).
Francis Bacon mengritik Aristoteles sebagai ilmuwan yang terlampau
kontemplatif. Bagi Bacon, ilmu harus memiliki tujuan aplikatif, harus
mewujud dalam teknologi.
Yang
mungkin kurang ditekankan oleh Bacon adalah bahwa teknologi juga
berkembang di dalam kebudayaan-kebudayaan lain (piramida di Mesir,
kembang api di Cina dan lain-lain) namun ilmu pengetahuan modern tidak.
Dalam kebudayaan-kebudayaan lain, rasio tidak mengoptimalkan seluruh
kemampuannya. Yang berkembang ialah rasio yang cukup puas memecahkan
masalah-masalah empiris, masalah-masalah yang berhubungan dengan “the unbearable lightness of being”.
Ilmu pengetahuan modern adalah perwujudan dari apa yang disebut oleh
Alfred North Whitehead sebagai “impian nabi Suleiman” yakni
bekerjasamanya rasio pragmatis dengan rasio Yunani atau rasio teoretis
(Whitehead/Nugroho, 2001; 95-195).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar