Kita terlahir dari kota yang berbeda. Tapi kerap kali membicarakan tema yang sama. Yaitu "CINTA"

Sabtu, 05 November 2011

Mengenai Filsafat

Pengetahuan adalah kekuasaan : Modernisme PDF Print E-mail
Written by narasumber#   
Monday, 23 May 2011 03:49
Selama ini pengetahuan tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan kita warisi paling-paling dalam bentuk semboyan yang dianggap berasal dari filsafat ilmu Francis Bacon (1561-1626), yang berbunyi “Knowledge is power”, pengetahuan ialah kekuasaan. Pengetahuan menampakkan diri dalam kekuasaan. Atau lebih tepat, pengetahuan  mewujudkan diri dalam teknologi dan teknologi adalah sarana untuk mengendalikan, khususnya untuk mengendalikan alam.Pada terang tanah  era modern itu, ilmu pengetahuan mencatat beberapa kemajuan dalam  teknologi. Percetakan membuat manusia dapat memperluas pengetahuan dan dengan demikian juga kekuasaannya. Mesiu dapat membuat suatu bangsa memperluas jajahan atau setidak-tidaknya  mempertahankan kedaulatan. Perkapalan membuat manusia mengarungi samudera.(Verhaak dan Imam.1991: 139). “Scientia et potentia humana in idem coincidunt”. Ilmu pengetahuan dan kekuasaan bertumpang tindih, karena hanya mereka yang mengetahui sebab-sebab sesuatu akan menguasainya pula. (Steel, 1989: 69).

Dengan mengaitkan ilmu pengetahuan dengan teknologi, Bacon mengayuh biduk ilmu pengetahuan ke samudera modernisme. Kita melihat setidaknya ada dua ciri ilmu pengetahuan modern. Pertama, dalam hubungan antara pernyataan dan kenyataan, proposisi-proposisi ilmiah harus didasarkan pada kenyataan empiris, tidak sekadar pada pernyataan-pernyataan lain (firman Illahi ataupun argumentum auctoritatis lain yang biasa dilakukan dalam ideologi). Prinsip verifikasi dari neopositivisme Vienna Circle atau atomisme-logis dalam abad ke-20 adalah ikrar setia pada modernisme, karena dalam prinsip itu diteguhkan keyakinan terhadap “supremasi data empiris”. Prinsip verifikasi mengatakan kurang lebih bahwa suatu proposisi yang secara ilmiah bermakna harus dapat ditentukan truth valuenya oleh data-data empiris. Prinsip falsifikasi dari kritisisme-logis yang dipandegani oleh Karl Raimund Popper yang bahkan menuding beberapa teori ilmiah sebagai pseudo-science itu (PSA, teori Marx) , pada hemat saya, juga memuat “fundamentalisme” terhadap kredo “supremasi data empiris”. Kritik Popper terhadap verifikasionisme menyangkut metode induksi, kalau dianalisis lebih mendalam,  ialah kritik atas induksi sebagai pseudo method yang menghujat “supremasi data empiris”. Dalam soal status proposisi ini, ilmu pengetahuan modern menarik garis demarkasi antara proposisi ilmiah dan proposisi non-ilmiah. Proposisi ilmiah adalah proposisi  yang menyatakan kebenaran dan bukan yang lain selain kebenaran (kesesuaian dengan data empiris).

Ciri ilmu pengetahuan modern yang berpegang pada supremasi data empiris ini sebenarnya sudah dapat dirunut pada kerja ilmiah Aristoteles (384-322 SM). Sewaktu mengritik idealisme Plato, gurunya, Aristoteles sudah mengatakan bahwa pengetahuan tercapai sebagai hasil kegiatan manusia menganati kenayataan yang partikular, yang banyak dan berubah-ubah, yang dalam bahasa kita sekarang kita sebut sebagai kenyataan empiris. Dari  yang partikular inilah kita mencapai yang universal karena rasio manusia mampu melakukan abstraksi dengan menerapkan logika.
Ciri  ilmu pengetahuan modern yang kedua ialah aplikasinya dalam teknologi. Karena proposisi ilmiah itu berkorespondensi dengan realitas, karena pengetahuan yang benar itu “identik” dengan realitas, maka pengetahuan itu dapat mengatur gerak-gerik (merekayasa) realitas, seperti digarisbawahi oleh Francis Bacon dan dalam bentuknya  paling mutakhir seperti ditekankan oleh pragmatisme Amerika. Rasio Yunani, termasuk fisika  dan metafisika Aristoteles, adalah rasio dalam operasinya yang sejati, yakni daya akal yang sesudah lepas landas dari pangkalan empiris, mampu bermain-main di dunia abstraksi yang tidak terganggu oleh “gravitasi” kenyataan empiris dan kepentingan sehari-hari  (“unbearable lightness of being” istilah novelis Milan Kundera). Ilmu pengetahuan Aristotelian yang aristokratik inilah yang dikritik oleh Francis Bacon. Bacon membumikannya lagi, kepada kepentingan manusia dan kesejahteraan manusia, melalui penguasaan alam (dan juga penguasaan manusia-manusia lain, katakanlah melalui planning, organizing, actuating, control). Francis Bacon mengritik Aristoteles sebagai ilmuwan yang terlampau kontemplatif. Bagi Bacon, ilmu harus memiliki tujuan aplikatif, harus mewujud dalam teknologi.
Yang mungkin kurang ditekankan oleh Bacon adalah bahwa teknologi juga berkembang di dalam kebudayaan-kebudayaan lain (piramida di Mesir, kembang api di Cina dan lain-lain) namun ilmu pengetahuan modern tidak. Dalam kebudayaan-kebudayaan lain, rasio tidak mengoptimalkan seluruh kemampuannya. Yang berkembang ialah rasio yang cukup puas  memecahkan masalah-masalah empiris, masalah-masalah yang berhubungan dengan “the unbearable lightness of being”. Ilmu pengetahuan modern adalah perwujudan dari apa yang disebut oleh Alfred North Whitehead sebagai “impian nabi Suleiman” yakni bekerjasamanya rasio pragmatis dengan rasio Yunani atau rasio teoretis (Whitehead/Nugroho, 2001; 95-195).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar