LOGIKA DAN STATISTIKA SEBAGAI
SARANA BERPIKIR ILMIAH
A.
Pendahuluan
Tadi malam di rumah pak Pulan ada pencuri dan Polisi segera
diberitahukan. Komandan polisi yang dating memimpin pemeriksaaan, sebuah
jendela belakang dibongkar oleh pencuri itu. Dari jendelah inilah mereka masuk piker
Komandan. Dengan segera ia tahun, bahwa yang mencuri itu lebih dari
satu, karena dilihatnya dua macam jejak di bawah jendela itu. Tahukah
tuan, barang-barang apa yang dicuri, Tanya Komandan Polisi kepada pak Pulan,
sebuah Radio, satu set Komputer jawab pak Pulan.
Dari cerita ini ada proses berpikir. Berpikir merupakan suatu aktivitas
pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.
Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan
pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang kita kehendaki.
Menurut J.S.Suriasumantri2,
‘manusia – homo sapiens, makhluk yang berpkir. Setiap saat dari
hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti
berpkir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang
terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling
asasi”.
“Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia, untuk membedakan antara
manusia dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah
keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses
bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. … Akal
merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping
rasa dan kehendak untuk mencapai kebaikan”3.
Dengan demikian, “cirri utama dari berpkikir adalah adanya abstraksi. Maka dalam arti yang luas kita dapat
mengatakan berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Sedangkan dalam arti yang sempit berpikir
adalah meletakan atau mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi4.
“Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir
alamiah dan berpikir ilmiah. Berpikir
alamiah, pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh
alam sekelilingnya [katakana saja : penalaran tentang api yang dapat membakar].
Berpikir ilmiah, pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan
cermat [dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu
pada saat yang sama dalam satu kesatuan]5.
Dari dua pola berpikir di atas, akan dibahas pola berpikir ilmiah dan lebih
khusus di fokuskan pada pembahasan “logika dan statistika sebagai sarana
berpikir ilmiah”.
B.
Sarana
Berpkir Ilmiah
“Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu
yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan”6. Oleh karena itu, proses berpikir untuk
sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu
yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga
diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita
tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat
melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir
ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan
statistika7. Bahasa ilmiah merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa
merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran
seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika
mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti
dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran
penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku
umum”.
|
|||
|
Metode-metode
Ilmiah8
Sarana
berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk
mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. “Sarana
berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah
dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada
dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif, dan sarana berpikir
ilmiah tidak menggunakan cara tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan
pengetahuan tersebut jelaslah bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu,
melainkan sarana ilmu yang berupa : bahasa, logika, matematika, dan
statestika”. Sedangkan “fungsi sarana
berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif
maupun secara induktif9.
Kemampuan
berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir
dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui
dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan
proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode
ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola
pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.
C. Logika
dan Statistika
Perkataan
logika berasal dari kata “logos” bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran yang benar. Kalau ditinjau dari segi logat saja, maka ilmu
logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar.
Dalam bahasa Arab dinamakan ilmu manthiq yang berarti ilmu bertutur
benar10. Dalam Kamus Filsafat, logika – Inggris –
logic, Latin: logica, Yunani: logike atau logikos [apa yang termasuk ucapan
yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis,
dapat dimengerti]11. Dalam
arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan
secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah12.
Logika
sebagai cabang filsafat – adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika
membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut
dapat mengambil kesimpulan yang benar.
Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan
diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan13. Menurut Louis O. Kattsoff14, logika membicarakan teknik-teknik
untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu dan
kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan
kesimpulan.
Logika
sama tuanya dengan umur manusia, sebab sejak manusia itu ada manusia sudah
berpikir, manusia berpikir sebenarnya logika itu telah ada. “Hanya saja logika
itu dinamakan logika naturalis, sebab berdasarkan kodrat dan fitrah manusia
saja. Manusia walaupun belum mempelajari hokum-hukum akal dan kaidah-kaidah
ilmiah, namun praktis sudah dapat berpikir dengan teratur. Akan tetapi bila manusia memikirkan
persoalan-persoalan yang lebih sulit maka seringlah dia tersesat. Misalnya, ada
dua berita yang bertentangan mutlak, sedang kedua-duanya menganggap dirinya
benar. Dapatlah kedua-duanya dibenarkan semua? Untuk menolong manusia jangan
tersesat dirumuskan pengetahuan logika. Logika rumusan inilah yang digunakan
logika artificialis15.
Logika
bukan ilmu yang baru muncul, perumusan kaidah-kaidah logika untuk berpikir
benar dipelopori Aristoteles yang hidup pada tahun 348-322 SM, dengan bukunya
Organon yang berarti instrument [alat], alat untuk berpikir benar. “Aristoteles
dianggap sebagai pelopor pembukuan pengetahuan logika. Tidak berarti belum
Aristoteles belum ada kaidah-kaidah berpikir yang benar [logika]. Sebenarnya di
negara-negara Timur Kuno [Mesir, Babilon, India, dan Tiongkok], diakui telah
terdapat semacam kaidah-kaidah berpikir yang dianggap benar, hanya saja belum
teratur sistematikanya seperti rumusan logika Aristoteles16.
Memang
diakui sejak manusia ada sampai sekarang selalu menggunakan akal pikirannya
dalam melakukan setiap kegiatan, baik kegiatan berpikir alamiah [naturalis]
maupun kegiatan berpikir yang sifat kompleks. Tetapi dalam melakukan kegiatan
berpikir yang benar diperlukan kaidah-kaidah tertentu yaitu berpikir yang
tepat, akurat, rasional, objktif dan kritis atau proses berpikir yang
membuahkan pengetahuan. Proses berpikir semacam ini adalah cara berpikir atau
penalaran yang terdapat dalam kaidah-kaidah logika.
Agar
pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran,
maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logic dibagi
menjadi dua bagian, yaitu : “[a] Logika Induktif - cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan
yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu,
penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang
mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri
dengan pernyataan yang bersifat umum. [b] Logika Deduktif – cara
berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola
berpikir silogismus. Silogismus. Disusun
dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus
disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan
premis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan
kedua premis tersebut17.
Contoh – karakteristik berpikir silogismus : [a] Semua makhluk hidup
mesti akan mati [premis mayor], [b] Si Pulan adalah makhluk hidup [premis
minor], [c] Jadi si Pulan mesti mati [kesimpulan – konklusi].
Kesimpulan
bahwa si Pulan mesti mati, menurut Jujun S. Suriasumantri, kesimpulan tersebut
adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara
logis dari dua premis yang mendukungnya.
Sedangkan pertanyaan apakah kesimpulan ini benar, maka hal ini harus
dikembalikan kebenarannya pada premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis
yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan tersebut benar.
Tetapi dapat saja kesimpulan tersebut salah, walaupun kedua premisnya benar,
sebab cara penarikan kesimpulannya salah. Selanjutnya Jujun S. Suriasumantri,
mengatakan ketepatan penarikan kesimpulan tersebut tergantung pada tiga hal
yaitu : [1] kebenaran premis mayor, [2] kebenaran premis
minor, dan [3] keabsahan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, apabila salah satu dari
ketiga unsure tersebut tidak memenuhi persaratan, maka kesimpulan yang diambil
atau diputuskan akan salah.
Contoh berpikir induktif, simpulan yang diharapkan berlaku umum untuk
suatu kasus, jenis, dan peristiwa, atau yang diharapkan adalah agar kasus-kasus
yang bersifat khusus dapat dimasukkan ke dalam wilayah umum, yang menjadi
simpulan. Misalnya : [1] P – penduduk desa A = adalah pegawai, [2] Q – penduduk
desa A = adalah pegawai, [3] R – penduduk desa A = adalah pegawai, [4] S –
penduduk desa A = adalah pegawai, [5] Y – penduduk desa A = adalah pegawai, [6]
Z – penduduk desa A = adalah pegawai. Kesimpulan – jadi semua penduduk [ P sampai Z ] yang mendiami desa A adalah pegawai.
Menurut Kasmadi, dkk., pola
berpikir ini adalah berpikir induksi komplet.
Sedangkan
Francir Bacon dalam usaha
menariuk kesimpulan yang berlaku umum, hendaknya bertolak dari hasil observasi
untuk menentukan ciri-ciri gejala yang didapatinya. Ada tiga jenis pencatatan
ciri sebagai berikut : [1] pencatatan ciri posetif, pencatatan terhadap
peristiwa yang kondisinya dapat dipastikan menimbulkan gejala, [2] pencatatan
ciri negatif, pencatatan terhadap peristitwa yang kondisinya tidak memunculkan
gejala, dan [3] pencatatan variasi gejala, pencatatan mengenai ada atau tidak
adanya perubahan gejala pada kondisi yang berubah-ubah atau diubah-ubah. Kesimpulan yang dapat diambil sesuai dengan
ciri-ciri, sifat-sifat atau unsur-unsur yang harus ada sebagai gejala yang
berlaku umum18.
Statetstika
berakar dari teori peluang, Descartes, ketika mempelajari hukum di Universitas
Poitiers antara tahun 1612 sampai 1616, juga bergaul dengan teman-teman yang
suka berjudi. Sedangkan, pendeta Thomas Bayes pada tahun 1763 mengembangkan
teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu
kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statestika sebagai
pelengkap teori peluang yang bersifat subyektif. Peluang yang merupakan dasar
dari teori statistika, merupakan konsep yang tidak dikenal dalam pemikiran
Yunani Kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Sedangkan teori
mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan
sarjana Muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluan19 .
Semula statistika
baru hanya digunakan untuk mengembarkan persoalan seperti; pencatatan
banayaknya penduduk, penarikan pajak, dan sebagainya, dan mengenai
penjelasannya. Tetapi, dewasa ini hampir semua bidang keilmuan menggunakan
statistika, seperti; pendidikan, psikologi, pendidikaan bahasa, biologi, kimia,
pertanian, kedekteran, hukum, politik, dsb. Sedangkan yang tidak menggunakan
statistika hanya ilmu-ilmu yang menggunakan pendekatan spekulatif20.
Statika
merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang
melalui pengujian-pengujian yang berdasarkan kaidah-kaidah statistik. Bagi
masyarakat awam kurang terbiasa dengan istilah statistika, sehingga perketaan
statistik biasanya mengandung konotasi berhadapan dengan deretan angka-angka
yang menyulitkan, tidak mengenakan, dan bahkan merasa bingung untuk membedakan
antara matematika dan statistik. Berkenaan dengan pernyataan di atas, memang
statistik merupakan diskripsi dalam bentuk angka-angka dari aspek kuantitatif
suatu masalah, suatu benda yang menampilkan fakta dalam bentuk ”hitungan” atau
”pengukuran”.
Statistik
selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang
keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping
merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema21. ... Bidang keilmuan statistik
merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data dalam
mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi
keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan
dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan
maupun pengkuran22. Maka, Hartono Kasmadi,
dkk., mengatakan bahwa, ”statistika [statistica] ilmu yang berhubungan dengan
cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan
pembuatan keputusan23.
Statistika
digunakan untuk menggambarkan suatu persoalan dalam suatu bidang keilmuan.
Maka, dengan menggunakan prinsip statistika masalah keilmuan dapat diselesaikan, suatu ilmu dapat
didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan dapat
dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengjian melalui prosedur
pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung
fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran,
tetapi dapat juga sebaliknya.
Contoh
yang dikemukakan Jujun S Suriasumantri24,
penarikan kesimpulan tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ”
”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api
dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama
kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyeraahkan
kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus,
pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. ...Tak seorangpun,
saya kira, yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak
kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti
ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, ...karena menurut Jujun S.
Suriasumantri25, ”konsep statistika
sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi
tertentu”.
Untuk
itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen,
dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika
yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”26.
D. Statistika dan Berpikir Ilmiah
Statistika
merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan
gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran.
Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan
sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara
faktual.
Pengujian
statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian
statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan
hipotesis. Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka
hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan
hipotesis itu ditolak”. ...Maka, pengujian merupakan suatu proses yang
diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang
bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu
adalah berdasarkan logika induktif27.
Pengujian
statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan
yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat
sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat
kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil
maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan
kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan
sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. ...Selain itu, statistika
juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan
kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang
benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat emperis28.
Selain
itu, Jujun S. Suriasumantri juga mengatakan bahwa pengujian statistik
mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang
bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi
rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang
dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus
anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan
berdasarkan logika induktif29.
Logika
induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan
yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang
bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu
berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan
kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalaam arti
selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu
benar30.
Logika
induktif31 tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu
dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga
salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu
hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November
tahun ini juga akan turun hujan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat
peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan”. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif
dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran
induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika
induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.
Penarikan
kesimpulan secara induktif32
menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang
harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita
ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia,
umpamanya, bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan
tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan
terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak
dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak
tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan
tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori
dasarnya teori peluang memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara
untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya
sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10
tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang
berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.
Untuk
berpikir induktif dalam bidang
ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu
rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles [1956]33, diperlukan proses penalaran sebagai
berikut: [1] Langkah pertama, mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode
khusus yang digunakan observasi [pengamatan] dan eksperimen. Observasi harus
dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti
obyek yang harus dipelajari. [2] Langkah kedua, dalam induksi ialah
perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan
dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai
petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat
sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat
meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil
yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat meenjelaskan fakta-fakta yang
dipersoalkan. [3] Langkah ketiga, dalam hal ini penalaran induktif ialah
mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang
harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan
dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu
memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik
tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat
ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti
yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah
membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup
generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis
tersebut menjadi suatu teori. [4] Langkah keempat, teori dan hukum
ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai
pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk
sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua
hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi
penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka,
untuk diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang
derajatnya dengan hipotesis34 adalah
lebih tinggi.
Untuk
itu, statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. Bagaimana seseorang dapat melakukan
generalisasi tanpa menguasai statistik? Memang betul tidak semua masalah
membutuhkan analisis statistik, namun hal ini bukan berarti, bahwa kita tidak
perduli terhadap statistika sama sekali dan berpaling kepada cara-cara yang
justru tidak bersifat ilmiah35.
E. Penutup
Dari
berbagai uraian yang dikemukakan di atas, penulis mencoba memberikan beberapa
ringkasan sebagai berikut : [1] Dalam kegiatan atau kemampuan berpkir ilmiah
yang baik harus menggunakan atau didukung oleh sarana berpkir ilmiah yang baik
pula, karena tanpa menggunakan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat
melakukakan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik. [2] Cara berpikir ilmiah
dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan logika induktif dan logika
deduktif. [3] Penggunaan statistika
dalam proses berpikir ilmiah, sebagai suatu metode untuk membuat keputusan
dalam bidang keilmuan yang berdasarkan logika induktif. Karena statistika
mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. [4] Berpkir induktif, bertitik
tolak dari sejumlah hal-hal yang bersifat khusus untuk sampai pada suatu
rumusan yang bersifat umum sebagai hukum ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens,
1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.
Bakry, Hasbullah,
1981, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta,
Gie, The Liang,
1991, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua [diperbaharui], Liberty,
Yogyakarta.
Jujun S.
Suriasumantri, 1988, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Kasmadi, Hartono,
dkk., 1990, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, Semarang.
Kattsoff, Louis
O. 1986, Pengantar Filsafat, Terjemahan Soejono Soemargono, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Kusumah, Yaya S.,
1986, Logika Matematika Elementer, Bandung.
Puswanto, M.
Ngalim, 1992, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sunoto, 1982, Mengenal
Filsafat Pancasila I, Edisi II, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.
Suriasumantri,
Jujun S., 1997, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Tim Dosen
Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, 1992, Filsafat Ilmu, Liberti,
Yogyakarta.
Wojowasito, S.,– W.J.S. Poerwadarminto, 1980, Kamus
Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung.
2J.S.Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah
Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, 1997, hlm.
1
3Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu, Liberti, Yogyakarta, 1992, hlm. 67.
4M. Ngalim Puswanti, Psikologi Pendidikan, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1992, hlm. 44. [Pengertian abstrak, ialah
pengertian yang memperlihatkan sifat tanpa memperlihatkan subjeknya. Misalnya :
secara konkrit kita berkata : ia amat pandai, tetapi secara abstrak kita
mengatakan: Kepandaiannya amat sangat. Dalam bahasa Indonesia untuk
menyatakan pengertian yang abstrak itu ialah dengan menamba pada kata itu
awalan “ke” dan akhiran “an” misalnya: kebaikan, keburukan,
keduniawan, kebangsaan, ketidak-adilan, dan sebagainya[Hasbullah Bakry, Sistimatika
Filsafat, Widjaja, Jakarta, 1981, hlm. 25].
5Tim Dosen Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Loc.cit.
6S.Suriasumantri, Loc.cit.
7Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat, Op.Cit, hlm.
68.
8Penjelasan Metode Ilmiah – merupakan suatu
prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara
teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Pola umum tata langkah dalam metode
ilmiah mencakup : [1] penentuan masalah, [2] perumusan dengan
sementara, [3] pengumpulan data, [4] perumusan kesimpulan,
dan [5] verifikasi [Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 110]
10Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Wijaya
Jakarta, 1981, hlm. 18.
11Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta,
1996, hlm. 519. Pengertian lain : Logika
– ilah ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan
di dalam rantai proses berpikir. Dengan
batasan itu, logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai
tujuan untuk memperjelas isi atau komprehensi serta keluasan atau akstensi
suatu pengertian atau istilah dengan menggunakan definisi-definisi yang
tajam. Munculnya logika dalam proses
berpikir ialah pada waktu diucapkan “sesuatu” yang lain yang dikaitkan dalam
hubungan tertentu atau pada waktu dikemukakan “dua sesuatu” yang dikaitkan
dengan penilaian tertentu dan dari kaitan itu ditarik kesimpulan. Fungsi logika
adalah : [1] membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya sama,
dan [2] menjadi dasar ilmu pada umumnya dan falsafah pada khususnya [Hartono
Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, 1990, hlm. 45].
12Yaya S. Kusumah, Logika Matematika Elementer, Bandung,
1986, hlm. 2.
13Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila I, Edisi II,
Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, 1982, hlm. 22.
14Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terjemahan
Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogya, 1986, cet.7, hlm. 71.
15Hasbullah Bakry, Op.cit., hlm. 20. Logika Artificialis, dibedakan menjadi dua
yaitu : [1] Logika Formal – mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau
hokum-hukum berpikir yang harus ditaati, agar orang dapat berpikir dengan benar
dan mencapai kebenaran, [2] Logika Material – mempelajari langsung pekerjaan
akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan
kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Logika formal – sesuai dengan
isi [materi] kenyataan yang sesungguhnya. Logika material – mempelajari
sumber-sumber dan aslinya pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya
pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika material inilah yang menjadi sumber
yakni yang menimbulkan filsafat mengenai [kennisteer] dan filsafat ilmu
pengetahuan [wetenschapsleer]. Logika formal – dinamakan logika minor,
sedangkan logika material dinamakan logika mayor. Logika formal – ilmu yang
mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara berpikir untuk mencapai kebenaran
[Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta, hlm. 21].
16Hasbullah Bakry, Loc.cit.
17Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm.
48-49. Pengertian – silogismus – suatu argumentasi yang terdiri dari
tiga buah proposisi atau pernyataan yang membenarkan atau menolak suatu
perkara. Dua buah proposisi yang pertama disebut premis mayor dan premis minor, sedangkan proposisi
yang ketiga disebut simpulan atau konklusi. Konklusi merupakan konsekuensi dari
kedua premis yang terdahulu [Hartono Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu, IKIP
Semarang Press, 1990, hlm. 27].
Pengertian premis – premise [premis] dalil yang dipakai sebagai pangkal
pembicaraan. Premis, kata-kata atau tulisan sebagai pendahuluan [S.Wojowasito –
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta,
Bandung, 1980, hlm. 156-157].
19Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit., hlm. 213.
20Hartono Kasmadi, dkk., Op.cit., hlm.43.
21Teorema [bahasa Yunani], Inggris; term artinya teori, pandangan, aturan,
prinsip. Beberapa pengertian : [1] Hal
yang dianggap atau ditetapkan sebagai suatu prinsip, aturan hokum atau
kebenaran. [2] Foemula kalkulus logis dan untuk itu ada bukti dan digunakan
untuk menarik pernyataan-pernyataan umumnya. [3] Logis formal modern dan
matematika teorema adalah proposisi apapun dalam teori deduktif ketat yang
dibuktikan dengan mererapkan aturan yang dapat diterima dari deduksi pernyataan
awal aksioma. Konsep aksioma dan teorema bersifat relatif. Proposisi yang sama
dari sebuah teori dapat diterima dalam beberapa hal sebagai aksioman, dan dalam
hal ini diterima sebagai teorema, karena itu aksioman sering dianggap sebagai
teorema [Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Jakarta, 1996].
22J.S.Suriasumantri, Op.cit., hlm. 201.
23Kasmadi, dkk., loc.cit.
24Jujun S.Suriasumantri, Op.cit., hlm. 211.
25Ibid, hlm. 213., [Konsep statistika sering dikaitkan
dengan distribusi variable yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham
Demoivre [1667-1745] mengembangkan teori galat atau kekeliruan [theory
of error]. Pada tahun 1757 Thomas Simpson, menyimpulkan bahwa terdapat
suatu distribusi yang berlanjut [continuous distribution] dari suatu
variable dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon Lapace
[1749-1827], mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan
menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling
banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Distribusi
lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan oleh Francis Galton
[1822-1911], dan Karl Pearson [1857-1936]. Teknik kuadrat terkecil [least
squares] simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata [the standard
error of the mean] dikembangkan Karl Friedrick Gauss [1777-1855]. Pearson,
melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan konsep regresi, korelasi,
distribusi chi-kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif di
samping menulis buku The Grammar of Science karya klasik dalam filsafat
ilmu. Willaim Searli Gosset, mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh.
Disain eksperimen dikembangkan oleh Ronald Alyimer Fisher [1890-1962] di
samping analisis varian dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t-,uji
signifikan dan teori tentang perkiraan [theory of estimation].
26Ibid, hlm. 215
27Kasmadi, dkk., loc,cit
28Jujun S. Suriasumantri, Op.ciut., hlm. 218-219.
29Ibid, hlm. 216.
30Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Op.cit.,
hlm. 90.
31Tim Dosen Filsafat Ilmu, loc.cit.
32Suriasumantri, loc.cit.
33Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Op.cit.,
hlm.91-92.
34Hipotesis adalah suatu keterangan bersifat sementara atau
untuk keperluan pengujian yang diduga mungkin benar dan dipergunakan sebagai
pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut sampai diperoleh kepastian dengan
pembuktian [The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua
[diperbaharui], Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 116. Hipotesis, dapat dipandang sebagai yang
paling awal atau paling rendah di dalam
urut-urutan derajat. Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah
terkumpul, maka hipotesis itu kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori,
dan bila teori itu saling berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan
setiap peristiwa yang diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat
dipandang sebagai hokum ilmiah [Herbert L. Searles, dalam Tim Dosen
Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 92.
35Jujun
S. Suriasumantri, Op.cit., hlm. 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar